Jumat, 20 November 2009

Akankah konfrontasi kebudayaan Indonesia-Malaysia merubah persaudaraan??

(kaitannya dengan hak cipta)

Memang tak dapat dipungkiri, Indonesia dan Malaysia adalah bangsa serumpun. Artinya Indonesia dan Malaysia merupakan bangsa yang memiliki kultur yang sama. Tapi!! apakah karena bangsa kita serumpun, maka Malaysia berhak mengklaim kebudayaan kita sebagai kebudayaannya juga??. Dalam hal ini jelas merupakan sebuah kesalahan. Tiap-tiap bangsa memiliki kebudayaan masing-masing yang merupakan ciri khas dari bangsa tersebut. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa dapat menjadikan daya tarik tersendiri bagi bangsa tersebut.

Indonesia, bisa dibilang merupakan negeri yang memliki ratusan kebudayaan. Hampir di tiap-tiap provinsi di Indonesia memiliki kebudayaannya masing-masing. Walaupun Indonesia memiliki ratusan kebudayaan, bukan berarti bangsa lain berhak mengambil salah satu dari kebudayaan kita. Akhir-akhir ini sering kita dengar Malaysia mengakui kebudayaan kita berawal dari bangsanya. Bangsa malaysia mencoba mendaulat salah satu tarian kita, yaitu Tari Pendet. Hal ini jelas membuat masyarakat kita geram. Rasa persaudaraan yang telah kita jalin sekian lama dapat lenyap hanya karena kesalahan nila setitik. Malaysia mengaku tarian tersebut berasal dari negaranya, bahkan yang lebih parah lagi, tarian tersebut dimasukkan dalam promosi pariwisata Malaysia yang disiarkan oleh Discovery Channel, salah satu stasiun televisi terkenal dunia. Hal ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh Malaysia. Reog Ponorogo, Batik, Angklung, Rendang, Lagu Rasa Sayange dan sebagainya juga pernah diakui mereka sebagai kebudayaannya. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia hanya diam saja melihat satu-persatu kebudayaan kita direnggut oleh bangsa lain ?

Memang benar kita juga tidak memiliki sebuah bukti yang kuat di mata hukum bahwa kebudayaan tersebut berasal dari Indonesia. Namun, apabila kebudayaan tersebut sudah ada turun temurun dan bahkan telah diakui masyarakat dunia kebudayaan tersebut tidak perlu dibuktikan lagi keabsahannya. Di dalam Undang-Undang Perdata Nomor 19 Tahun 2002 mengenai hak cipta telah menjelaskan, “negara memegang hak cipta atas karya peninggalan sejarah, dan benda budaya nasional lainnya, negara juga memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, kareografi, tarian dan karya seni lainnya”. Jadi dengan demikian negara memiliki wewenang penuh bagi kebudayaan negaranya.

Beralih dari permasalahan perebutan kebudayaan, kita harus ingat bahwa bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia merupakan bangsa serumpun. Walaupun terjadi konflik, kita harus tetap menjunjung tinggi rasa persaudaraan kita. Kita harus sadar emosi tidak akan menyelesaikan masalah bahkan hanya akan memperkeruh suasana. Ada baiknya permasalahan kebudayaan ini diselesaikan secara damai oleh kedua negara sehingga kejadian ini tidak menggangu hubungan antar negara. Kita sebagai bangsa Indonesia harus mulai berpikir secara rasional. Karena dengan berpikir secara rasional dapat menunjukkan bahwa negara kita adalah negara yang kuat, sehingga bangsa lain tidak akan berani kembali mengakui kebudayaan kita.


Subyek Hukum dalam perekonomian


Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia tidak lepas dari Global Compact yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (tahun 1999) dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational) terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC), maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG). Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”(1). Global Compact terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM (no. 1-2), empat di bidang standar tenaga kerja (no. 3-6), tiga di bidang lingkungan hidup (no. 7-9), dan satu di bidang anti-korupsi (no.10; masuk tahun 2004). Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002)(2).

Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut. Peningkatan CSR akan memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).

Corporate Social Responsibility (CSR)

Wineberg dan Rudolph(3) memberi definisi CSR sebagai:

“The contribution that a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy”.

Selanjutnya dikatakan bahwa konsep CSR itu memang agak tumpang tindih, (overlap) dengan konsep (good) corporate governance (CG) dan konsep etika bisnis (EB). Dalam CG kita mengacu pada standar dasar yang bertujuan pada ketaatan (compliance) terhadap peraturan negara maupun aturan internal perusahaan. Etika bisnis lebih luas konsepnya, didasarkan pada nilai-nilai yang melampaui ketentuan atau norma aturan (peraturan). Pada dasarnya CG dan EB fokusnya adalah pada internal perusahaan dan diwujudkan sebagian besar dalam bentuk aturan (rules-based flavour)(4).

Sebaliknya, masih menurut Wineberg(5), CSR itu lebih berdasarkan nilai-nilai (values-based) dan fokusnya keluar (external) perusahaan. Karena itu CSR juga ditujukan pada jajaran stakeholder yang lebih luas. Misalnya, stakeholder internal, seperti: pegawai, pemegang saham; stakeholder ekstenal: komuniti, customer, LSM; dan stakehoder lainnya seperti: supplier, kelompok SRI (social responsible investors) dan licensing patners. Dengan demikian dalam SC, perhatian manajemen tidak saja harus ditujukan pada standar dasar ekonomi, tetapi juga pada dampak kegiatan perusahaan itu terhadap lingkungan hidup, komuniti, sekitarnya dan masyarakat pada umumnya.

Dewasa ini, menghadapi dampak globaslisasi, kemajuan informasi teknologi, dan ketebukaan pasar, perusahaan harus secara serius memperhatikan CSR. Hanya taat kepada peraturan perundang-undangan belum cukup untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk). Tekanan secara nasional dan internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham (yang sadar CSR), LSM, partner-partner bisnis (terutama dari negara yang komuniti bisnisnya peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public interest lawyers)(6). Dikatakan pula oleh para pengamat bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and the potential for corporate misconduct”. Keadaan seperti inipun perlu dicermati di Indonesia, terutama dalam usaha pemerintah melakukan “economic recovery”.

Mengapa CSR perlu perhatian manajemen

Mempunyai program CSR bukanlah hanya sekedar untuk tunduk pada tekanan publik dan politik. Seperti dikatakan dalam TOR pertemuan ini, pelaksanaan CSR (khususnya yang dikaitkan pada Community Development) telah dianggap pula sebagai “faktor pendukung daya saing” perusahaan bersangkutan. Seperti terungkap dalam suatu survei di tahun 1999 terhadap ribuan responden di dunia (23 negara di 6 benua), maka antara lain:

(a) separuh responden “care about the social behaviour of companies”;

(b) duapertiga responden ingin perusahaan meninggalkan peranan perusahaan yang hanya menekankan pada: membuat keuntungan, membayar pajak, dan menggunakan tenaga kerja; mereka minta agar fokus perusahaan adalah juga bagaimana menyumbang pada tujuan-tujuan masyarakat secara lebih luas (broader societal goals); dan

(c) perhatian masyarakat sekarang lebih pada “corporate citizenship”, ketimbang hanya pada “brand reputation” dan “financial factors”.

[disarikan dari “Global Perception of the Role of Corporations”](7)

Dalam iklim reformasi dan demokrasi di Indonesia sekarang ini, keterbukaan dan akuntabilitas sangat dipentingkan dan diperhatikan oleh publik. Peranan pengawasan publik dilakukan melalui LSM (NGO), sebagai organisasi nir-laba yang pendukungnya menyuarakan berbagai “public issues”, yang punya dampak besar pada penyelenggaraan bisnis di indonesia. Perusahaan harus menyadari bahwa suara LSM ini mempunyai pengaruh besar dan sangat diperhatikan oleh konsumen perusahaan dan karena itu tidak dapat diabaikan(8). Isu bagaimana tenaga kerja mempersepsikan suatu perusahaan juga akan berpengaruh pada rekrutmen pegawai, memotivasi kerja mereka, dan mengusahakan mereka tidak pindah ke perusahaan lain. Tenaga ahli yang cakap sekarang juga sudah mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam melaksanakan CSR (CSR leadership). Karena itu “faktor pendukung daya saing” juga harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan. Seperti dikutip Wineberg(9) dari suatu survei CEO di Eropa tahun 2002: “.......78% of the chief executives agreed that integrating responsible business practices makes a company more competitive”.

Global Compact telah memasukkan “anti-korupsi” sebagai asas ke-10 (dalam tahun 2003). Dalam tahun yang sama, PBB telah mengeluarkan Konvensi Global Anti-Korupsi, dan yang telah turut ditandatangani pula oleh Indonesia. Dalam pengertian “responsible business practices” di atas, tentunya termasuk pula usaha perusahaan untuk menolak melakukan transaksi yang mempunyai sifat “penyuapan” dan/atau “korupsi”(10).

HAM dan CSR

Sebagaimana didefinisikan di atas konsep CSR berkaitan pula dengan sumbangan perusahaan pada masyarakat antara lain dalam “social investment” dan “engagement in public policy”. Sumbangan ini ditujukan ke dalam (internal) dan keluar (ekternal). Ke dalam, antara lain terhadap tenaga kerja (pegawai), ke luar antara lain terhadap lingkungan hidup, komuniti sekitarnya, dan masyarakat luas.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, Global Compact merupakan nilai-nilai yang mempedomani CSR. Dua dari sepuluh asas dalam GC secara langsung merujuk pada penghormatan HAM sebagaimana diakui oleh dunia internasional(11). Dasar internasional tentang HAM adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Indonesia menghormati UDHR dan telah memasukkan sebagian asas-asas tersebut dalam konstitusi (UUD 1945 yang telah diamandemen). Meskipun memang pada dasarnya negara yang bertanggung jawab tentang penegakan HAM ini, tetapi peranan perusahaan juga tidak kecil dalam turut serta menghormati HAM. Karena GC merupakan pedoman bagi CSR dan GC merujuk pada penghormatan HAM, maka pelaksanaan CSR oleh perusahaan berarti pula kewajiban perusahaan untuk menghormati perlindungan HAM di Indonesia. Ketidaktaatan perusahaan melindungi HAM di Indonesia, terutama yang tertuang dalam konstitusi, akan merupakan pelanggaran serius dari perusahaan bersangkutan.

Namun, dalam kenyataan tidaklah mudah untuk menentukan pelanggaran HAM. Sejumlah masalah yang pernah diajukan dalam konsultasi antara kantor UNHCHR dengan kantor Global Compact(12), adalah antara lain:

(a) mengenai “scope and legal status of initiatives and standards”, apakah dapat menjadi dasar untuk “binding obligations enforceable in national law”; diambil sebagai contoh Voluntary Guidelines on Security and Human Rights, yang baru dapat ditegakan apabila dimasukkan sebagai klausula dalam kontrak-kontrak dengan perusahaan sekuriti;

(b) mengenai legitimasi dari para penyusun “initiatives dan standards”; dalam hal inisiatif dan standar ini diambil-alih (adopted) oleh pemerintah, maka status hukumnya akan menjadi lebih kuat;

(c) mengenai verifikasi (verification) tentang ketaatan perusahaan pada standar perilaku bisnis yang sudah disepakati; bagaimana meningkatkan (improve) verifikasi ini?

(d) mengenai “the meaning of complicity”, sejauh mana perusahaan dapat dianggap “turut serta” dalam pelanggaran HAM, misalnya membayar pajak yang digunakan pemerintah bersangkutan untuk kegiatan yang melanggar HAM? [penyertaan dalam KUHPidana, diatur dalam Pasal 55-56 - yurisprudensi Indonesia belum jelas apakah konsep penyertaan: (i) memperluas tanggung jawab pidana, atau (ii) memperluas perbuatan (tindak) pidana].

Sehubungan dengan luas lingkup suatu perusahaan dapat dianggap turut serta (merupakan pelaku peserta) dalam pelanggaran HAM, dapat berkaitan dengan penggunaan perusahaan (atau tenaga) satuan pengamanan (satpam). Telah sering terjadi bahwa unit (satuan) pengamanan perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM (misalnya mulai dari “menggeledah badan pekerja” sampai dengan “menghalau” demontrasi pekerja). Dengan sendirinya perusahaan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ini, baik secara gugatan sipil (civil laibility), maupun dakwaan kriminal (criminal liability). Akan lebih rumit permasalahannya kalau pelanggaran HAM dilakukan oleh unit pengamanan yang berasal dari Kepolisian atau TNI. Unit pengamanan ini biasanya memperoleh pula bantuan biaya dari perusahaan. Apakah “bantuan biaya” ini dapat ditafsirkan bahwa perusahaan telah “membantu” terjadinya pelanggaran HAM? Ingat bahwa asas Global Compact kedua meminta “that businesses should make sure that they are not complicit in human right abuses”(12)!

Korupsi dan CSR

Global Compact telah menambah asas ke-10, yaitu tentang anti-korupsi, sejalan dengan adanya UN Convention against Corruption. Dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang telah menggabungkan diri (secara sukarela) dalam Global Compact, juga “terikat” untuk “memerangi korupsi”. Untuk Indonesia yang sedang menjalani reformasi di bidang hukum dan sistem peradilan, keterikatan perusahaan untuk “memerangi KKN” tentunya teramat penting. Kenyataan adanya “bribery in the private sector” telah merupakan salah satu faktor yang mempersulit Indonesia melakukan pemulihan di sektor ekonomi, karena ketidakpercayaan para investor pada hukum dan sistem peradilan kita(14).

Untuk negara yang berada dalam keadaan transisi seperti Indonesia, KKN dan pencucian uang (money laundering) merupakam masalah besar. Meningkatnya pertumbuhan kejahatan transnasional telah diakui oleh PBB dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada “the integrity of national financial industries”. Masalah ini cukup banyak dibicarakan di Indonesia, dan berbagai studi dan rekomendasi telah pula di ajukan(15). Untuk perhatian kita bersama hanya perlu dikemukakan bahwa pada tanggal 18-25 April 2005 di Bangkok (Thailand) akan berlangsung The Eleventh UN Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, dengan tema “Synergies and responses: strategic alliances in crime prevention and criminal justice”. Dari sekian banyak topik agenda, yang relevan dengan pertemuan ini adalah agenda pembicaraan(16):

(1) Effective measures to combat transnational organized crime (dengan antara lain isu: international law enforcement cooperation, including extradition measures);

(2) Corruption: threats and trends in the twenty first century (dengan antara lain isu: criminal justice reform);

(3) Economic and financial crime: challenges to sustainable development (dengan antara lain isu: measures to combat terrorism and economic crime, including money laundering; dan measures to combat computer-related crime).

Tanggung jawab Perusahaan

Sebagian besar perusahaan yang menjalankan bisnis dengan memakai “ijin perusahaan” berbentuk badan hukum (rechtspersoon; legal person) perseroan terbatas (PT). Badan hukum PT ini adalah suatu relaitas (bukan fiksi) dan berupa suatu kontruksi hukum. Dikatakan bahwa badan hukum adalah subyek hukum, sama dengan manusia (natuurlijke persoon; natural person), dengan perbedaan bahwa badan hukum mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang untuk mengabdi pada kehidupan hukum manusia. Manusia sendiri mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan asas-asas kesusilaan dan kemasyarakatan, dan karena itu dikenal adanya hak asasi manusia(17).

Dalam kenyataan kita tahu bahwa badan hukum PT (selanjutnya “korporasi”) berbuat atau bertindak melalui manusia (yang dikenal dalam UU Perseroan Terbatas No. 1/1995 sebagai Direksi). Dalam Pasal 82 dikatakan bahwa “Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili ... baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Dengan demikian antara Direksi dan korporasi ada hubungan istimewa yang dinamakan “fiduciary relationship” (hubungan kepercayaan), yang melahirkan “fiduciary duties” bagi setiap anggota Direksi(18).

Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu korporasi (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons. Oleh karena itu suatu korporasi, secara hukum Indonesia, dapat dinyatakan bersalah (terpisah dari direksinya), berdasarkan hukum perdata (gugatan perdata) karena telah tidak memenuhi CSR, apabila asas-asas dalam Global Compact telah menjadi “binding obligations enforceable in national law” (lihat halaman 5-6 makalah ini: HAM dan CSR).

Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana Indonesia, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatannya itu secara fisik. Dikatakan bahwa karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang “pelaku fungsional” (functionele dader)(19).

Meskipun KUHPidana kita (yang berasal dari masa Hindia Belanda), belum menerima pemikiran di atas (Pasal 59 WvS 1918) dan menyatakan bahwa (hanya) pengurus (direksi) korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal liability), sebenarnya konsep criminal liability of corporations sudah ada sejak tahun 1955 di Indonesia(20).

Penutup

Dalam konteks pertemuan ini dengan tema “Peran Sektor Usaha dalam Pemenuhan, Pemajuan, dan Perlindungan HAM di Indonesia”, maka ingin ditekankan pada tugas pengurus (direksi) perusahaan (korporasi sebagai subyek hukum mandiri). Pengurusan (dalam Pasal 79 UU PT di pergunakan istilah “Kepengurusan”) dijelaskan sebagai tugas Direksi ”yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan”. Sebenarnya pengurusan adalah lebih daripada “melaksanakan (keputusan RUPS)” dan juga lebih daripada “pengurusan sehari-hari”. Pengurus harus “memimpin”, “menyusun rencana masa depan”, “menyusun program kerja (baru)”, dan “memperinci kebijakan perusahaan”. Dan dalam kaitan CSR, pengurusan ini tidak saja ditujukan ke dalam (stakeholder internal), tetapi juga keluar (stakeholder Eksternal) (lihat halaman 2-3 di depan).

Karena itu pengurus harus juga dapat dalam “kepengurusan”-nya untuk merujuk pada kepentingan umum atau broader societal goals. Dengan ini dimaksudkan kepentingan-kepentingan di luar organisasi perseroan secara langsung, atau lebih tepat mungkin kepentingan dan tujuan stakeholder eksternal, dengan mengacu pada asas-asas Global Compact dan berdasarkan tanggung jawab menurut konsep Corporate Social Responbility.

Oleh: Mardjono Reksodiputro,

Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Departemen Luar Negeri RI,

dengan tema “Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan,

dan perlindungan HAM di Indonesia”

Hotel Borobudur, Jakarta (20/12/04)

Sumber: Komisi Hukum Nasional

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum5.htm

Minggu, 15 November 2009

ApaKah Dumping Tersebut??

Praktek dumping merupakan sebuah usaha menjual barang diluar negeri lebih murah ketimbang menjual produknya didalam negerinya sendiri. Bagi Negara yang terkena Dumping jelas merupakan sebuah kerugian besar, karena akan menimbulkan banjirnya barang-barang ekspor yang mampu mengakibatkan produksi dalam negeri kalah bersaing. Apabila para produsen dalam negeri tidak mapu bersaing jelas merupakan kerugian besar. Hal ini dapat memberikan dampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, pengangguran bahkan bangkrutnya industri lokal yang memiliki produk sejenis.

Menurut Ilmu ekonomi dumping diartikan : Dumping is traditionally defined as selling at a lower price in one national market than in anotherr".dikatakan dumping apabila memenuhi 3 kriteria :

(1) Produk ekspor suatu negara telah diekspor dengan melakukan dumping.

(2) Akibat dumping tersebut telah mengakibatkan kerugian secara material

(3) Adanya hubungan kausal (causal link) antara dumping yang dilakukan dengan akibat kerugian (injury) yang terjadi.

Apabila kita tinjau, praktek dumping dapat menguntungkan konsumen, karena konsumen jadi memiliki alternatif barang dengan harga relative murah. Dalam hal ini secara tidak langsung dumping memberikan keuntungan dalam jangka pendek. Namun, apabial praktek ini didiamkan terus menerus, bukan tidak mungkin dumping menciptakan pengangguran akibat tutupnya usaha dalam negeri tersebut.

Di Indonesia sendiri praktek dumping telah dilarang dan telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Ketentuan-ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 meliputi perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang. Terhadap perjanjian yang dilarang yang terkait dengan penetapan harga adalah pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8. Namun pendekatan yang digunakan dalam pasal 5 dengan pasal 7 dan 8 berbeda, pasal 5 termasuk per seilegal sedangkan pasal 7 dan 8 termasuk rule of reason. Terhadap kegiatan yang dilarang terkait dengan menjual di bawah harga pasar adalah pasal 20 (rule of reason).

Jika diperhatikan pengertian dumping sebagaimana yang telah dibahas di atas maka prkatek dumping harus memenuhi 3 kriteria sebagaimana telah disinggung di atas bahwa untuk bisa mengenakan BMAD harus memenuhi kriteria :

1. Produk ekspor suatu negara telah diekspor dengan melakukan dumping.

2. Akibat dumping tersebut telah mengakibatkan kerugian secara material

3. Adanya hubungan kausal (causal link) antara dumping yang dilakukan dengan akibat kerugian (injury) yang terjadi.

Sebagai kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisa tersebut di atas maka praktik dumping merupakan rezim dari Hukum Perdagangan Internasional di bawah kendali WTO. Sanksi yang diberikan apabila terbukti melakukan praktik dumping dikenakan sanksi berupa BMAD, apabila pihak yang dikenai sanksi keberatan terhadap BMAD maka dapat mengajukan keberatan ke panel WTO melalui Komisi Antidumping di DSB (Dispute Settlement Body). Sementara menjual harga di bawah harga pasar maupun melakukan predatory price dalam kacamata hukum persaingan akan menghambat adanya persaingan sehat. Praktik dumping dalam jangka pendek menguntungkan konsumen namun pada jangka panjang akan merugikan konsumen dan termasuk industri pesaing yang memiliki industri barang yang sejenis. Tentunya apabila tujuannya untuk menyingkirkan pesaing maka jelas merupakan persaingan yang tidak sehat dan menjadi pengawasan dari KPPU.

DAFTAR PUSTAKA

Huala Adolf dan An-An Chandrawulan, “Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan

Internacional”, Rajawali Prees, Manajemen, Yakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

John H Jackson and William J. Davey, “Legal Problems of Economics International”, Cases, Materials and Tax (2nd Edition).

Johnny Ibrahim, “Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia”, Bayumedia, Malang, 2007.

Praktik dumping dalam persaingan usaha oleh Hindari, SH.

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Pengertian perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antarnegara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan.

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.

Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

Ruang Lingkup Perdagangan Internasional


Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa dalam ekonomi internasional, hal pertama yang berkaitan adalah perdagangan internasional. Perdagangan internasional itu sendiri berkaitan dengan beberapa kegiatan yaitu :
perdagangan internasional melalui perpindahan barang, jasa dasi suatu negara kenegara yang lainnya yang biasa disebut transfer of goods and services
perdagangan internasional melalui perpindahan modal melalui investasi asing dari luar negeri kedalam negeri atau yang disebut dengan transfer of capital
perdagangan internasional melalui perpindahan tenaga kerja yang berpengaruh terhadap perndapatan negara melalui devisa dan juga perlunya pengawasan mekanisme perpindahan tenaga kerja yang disebut dengan transfer of labour.
perdagangan internasional yang dilakukan melalui perpindahan teknologi yaitu dengan cara mendirikan pabrik-pabrik dinegara lain atau yang biasa kita sebut transfer of technology.
perdagangan internasional yang dilakukan dengan penyampaian informasi tentang kepastian adanya bahan baku dan pangsa pasar atau yang disebut dengan transfer of data
ekonomi internasional menyangkut beberapa hal yang berkaitan dengan negara seperti :
mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang relatif lebih sukar (imobilitas faktor produksi)
sistem keuangan, perbankan, bahasa, kebudayaan serta politik yang berbeda
faktor-faktor poduksi yang dimiliki (faktor endowment) berbeda sehingga dapat menimbulkan perbedaan harga barang yang dihasilkan.

Oleh karena itu pada dasarnya ekonomi internasional membahas tentang ketergantungan ekonomi antar negara yang pada dasarnya dipengaruhi dan mempengaruhi hubungan politik, sosial, budaya dan militer antar negara. Ekonomi internasional berkaitan dengan perdagangan antar negara akan membahas tentang pola perdagngan internasional, teori perdagangan internasional, Foreign Direct Investment, Neraca Perdagangan, kerjasama tarif, blok perdagangan, kebijakan ekonomi internasional, sistem moneter internasional dan multinational corporation (MNC)

.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :

Perdagangan antar Negara dan Ilmu ekonomi International

Adalah perdagangan yang dilakukan oleh suatu Negara baik barang maupun jasa yang di perdagangan ke Negara lain yaitu melalui ekspor dan impor.

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor.

Perusahaan Multinasional

Berkaitan dengan permasalahan perdagangan internasional, kita juga tidak bisa mengabaikan alaan negara atau perusahaan multinasional menanmkan modalnya di suatu negara. Terdapat sebuah argumen tentang location-specific advantages yang dapat menjelaskan beberapa hal penting dalam teori ini yaitu berkaitan dengan ekspor, lisensi dan investasi langsung. Argumen ini penting untuk menjelaskan relativitas keuntungan perusahaan atau negara mengambil kebijakan ekspor, kisensi atau investasi langsung. Teori ini menjelaskan keputusan untuk ekspor akan diambil jika biaya transportasi lebih rendah dan trade barrier tidak begitu besar. Hal ini akan lebih mempermudah negara atau perusahaan untuk melakukan ekspor karena biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar dan komoditi yang akan diekspor bisa lebih besar mengingat pembatasan perdagangan tidak begitu ketat. Namun jika biaya transportasi dan trade barrier semakin meningkat maka kebijakan untuk melakukan ekspor akan merugikan, selanjutnya pilihan strategi bagi perusahaan atau negara adalah lisensi atau investasi langsung.
Teori FDI memandang bahwa kebijakan untuk investasi langsung akan lebih beresiko daripada lisensi, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu tingkat resiko diantara kedua seimbang. Lisensi akan sulit dilakukan jika perusahaan multinasional memiliki beberapa kondisi sebagai berikut :
perusahaan memiliki know-how yang berharga dan hal ini tidak bisa dilindungi dalam kontrak
perusahaan membutuhkan kontrol ketat terhadap prosukdi luar negeri untuk memaksimalkan penguasaan pasar di negara yang bersangkutan
keahlian dan kemampuan perusahaan tidak dapat dimasukkan dalam lisensi
Pengambilan keputusan untuk melaksanakan lisensi bukanlah pilihan yang tepat bagi perusahaan dengan ciri sebagai berikut :
industri dengan teknologi tinggi, sehingga perlindungan terhadap keahlian spesifik dari perusahaan dalam lisensi mengandung resiko tinggi.
oligopoli global, dimana saling ketergantungan yang kompetitif, maka perusahaan akan cenderung melakukan kontrol yang ketat terhadap operasi asing sehingga mereka memiliki kemampuan untuk melakukan “serangan” yang terkoordinis terhadap pesaing global mereka.
industri dengan memusatkan perhatian pada penekanan biaya dan kontrol ketat terhadap operasi asing sehingga mereka akan menjajaki kemungkinan untuk melakukan operasi diseluruh dunia dimana mereka menemukan efisiensi berupa biaya yang rendah dan kompetitor yang membahayakan operasi mereka.
Terdapat tiga paradigma dalam teori FDI :
mengikuti para pesaing. Perusahaan mengadakan FDI karena mengikuti para pesaing yang telah melakukan kegiatan serupa sebelumnya. Paradigma ini diperkenalkan oleh FT Knicknbocker
daur hidup produk (product liffe cycle). Diperkenalkan oleh Raymond dan menjelaskan bahwa FDI dilakukan untuk mengadakan efisiensi terhadap siklus produksi produk mereka.
paradigma ecletic, merupakan gabungan diantara dua paradigma diatas


Masalah yang di bahas dalam Perdagangan international


Beberapa permasalahan yang sedang dihadapi dalam ekonomi internasional saat ini adalah :
meningkatnya proteksi perdagangan negara-negara dengan membentuk blok perdagangan seperti Uni Eropa, Blok Perdagangan Amerika Utara (NAFTA), Blok Perdagangan Amerika Serikat dengan Australia dan Selandia Baru (ANZUS) serta blok perdagangan Asia Timur yang dipelopori oleh Jepang.
permasalahan kemiskinan di Negara Dunia Ketiga yang timpang dengan kesejahteraan di negara-negara maju
Kesiapan dan ketidaksiapan negara-negara yang menghadapi pasar bebas di kawasan.
fluktuasi nilai tukar mata uang negara-negara dalam sistem moneter yang mengambang yang dapat mengguncang perekonomian domestik suatu negara seperti yang terjadi pada kawasan Asia Tenggara pada tahun 1997-1998
Persaingan Dolar Vs Euro sebagai mata uang dunia.

Hubungan ilmu ekonomi /Perdagangan International dengan ilmu ekonomi lain


Terdapat banyak pengertian tentang ekonomi internasional dan bahkan studi ini sering disamakan dengan perdagangan internasional atau bisnis internasional.
Harry Waluya menjelaskan pengertian ekonomi internasional sebagai aplikasi dari ilmu ekonomi mikro dan ekonomi makro, selanjutnya dapay dilakukan suatu penerapan teori yang khusus mempelajari masalah hubungan ekonomi antar suatu negara dengan negara lainnya, yaitu dalam cabang ilmu ekonomi internasional sebagai cabang ilmu ekonomi yang benar-benar telah diperas menjadi materi tersendiri yang disebut Teori Murni Perdagangan Internasional (The Pure Theory on International Trade).
Nopirin mendefinisikan ekonomi internasional seperti ilmu ekonomi biasa yang mempelajari alokasi sumber daya yang langka guna memenuhi kebutuhan manusia, hanya saja problematikanya berada dalam lingkup internasional. Ilmu ekonomi internasional berusaha mempelajari bagaimana hubungan ekonomi antar satu negara dengan negara lain yang dapat berpengaruh pada alokasi sumber daya baik dikedua negara maupun di negara yang lain. wujud hubungan ekonomi antar negara ini dapat berupa perdagangan, investasi, pinjaman, bantuan serta kerja sama internasional.
Ingo Walter dan Kaj Areskoug mengatakan bahwa “international economics has a private aspect and a governmental, public policy aspect. And so the economic “actors” we will be conserned with include both firms-and, occasionally, other private institutions and individuals-and government agencies of various types. They also include official international organizations that have assumed certain supranational functions in the world economy.
Sedangkan Stefan H Robbock dan Kenneth Simmonds mendefinisikan ekonomi internasional dalam konsep bisnis internasional yang didefinisikan “... as a field of management training deals with the special features of business activities that cross national boundaries. These activities may be movements of goods, services, capital or personnel; transfer of technology, informations or data; or even the supervision of employees.

Dari beberpaa pengertian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa studi ekonomi internasional mempelahari tentang hubungan ekonomi antar negara yang berkaitan dengan alokasi sumber daya yang ada sebagai dampak langsungnya yang dijalankan melalui mekanisme perdagangan, investasi dan kerjasama internasional. Selain itu, ekonomi internasional juga berkaitan dengan kebijakan yang mengaturnya baik dalam negeri berupa kebijakan ekonomi internasional dan kebijakan internasional seperti sistem moneter, sistem pajak yang diatur dalam lembaga internasional seperti WTO dan IMF.

Dalam kaitannya dengan studi hubungan internasional, studi ekonomi internasional memberikan gambaran tentang alasan suatu negara melakukan hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain dan bagaimana mereka melakukan hubungan tersebut. Terdapat banyak sekali mekanisme, aturan dan konflik yang terjadi dalam hubungan ekonomi ini, sehingga mempelajari ekonomi internasional dalam studi hubungan internasional menjadi sangat penting untuk menganalisa fenomen hubungan internasional mutakhir yang sedang terjadi saat ini, dilihat dari sudut pandang ekonomi internasional. Pentingnya ekonomi internasional dalam studi hubungan internasional terutama pada mekanisme kerjasama internasional dalam pembentukan sistem moneter, GATT sampai WTO, IMF dan MNC yang saat ini mendomonasi dan menggeser peran negara dalam ekonomi internasional.

Manfaat perdagangan internasional

  • Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
    Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
  • Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
    Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
  1. Memperluas pasar dan menambah keuntungan
    Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
  • Transfer teknologi modern
    Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.